Banda Aceh — Hujan yang turun perlahan di luar jendela aula seolah menjadi latar puitis bagi diskusi filsafat yang hangat di dalam ruangan. Sabtu (11/10/2025), Aula Perpustakaan Wilayah Aceh Lantai 4 menjadi saksi pertemuan antara gagasan, keheningan, dan keberanian berpikir bebas dalam Book Talk bertajuk “Nietzsche Membunuh Tuhan.”
Acara dibuka oleh Rizka Fitria, S.Pd., dan turut dimeriahkan oleh penampilan Samy Asa, penyanyi Aceh yang tengah naik daun, yang menambah kehangatan suasana di tengah hujan yang mengguyur Banda Aceh. Kegiatan ini menghadirkan Idham, S.Th., M.Ag., yang juga menjabat sebagai Kepala Bidang Dakwah Dewan Dakwah Islamiyah Kota Banda Aceh, sebagai pemantik utama.
Mengetuk Nilai Lama dengan “Filsafat Palu”
Dalam paparannya, Idham menyoroti keberanian Nietzsche menolak taklid, fanatisme, dan ketaatan buta terhadap dogma agama. Filsuf Jerman abad ke-19 itu diyakini mengajak manusia berpikir bebas, menggugat nilai lama, dan menilai ulang apa yang disebut sebagai kebenaran.
Nietzsche menyebut pendekatannya sebagai “filsafat palu” — bukan untuk menghancurkan secara membabi buta, tetapi untuk mengetuk setiap nilai agar terdengar apakah ia masih bernilai atau hanya tempurung kosong.
“Tuhan Telah Mati” dan Kritik terhadap Moralitas
Pernyataan “Tuhan telah mati” bukanlah bentuk ateisme sederhana, melainkan kritik terhadap lembaga keagamaan yang menumpulkan semangat hidup manusia. Nietzsche membedakan dua moralitas:
• Moralitas Tuan yang berlandaskan kekuatan dan keberanian,
• dan Moralitas Budak yang tumbuh dari kelemahan dan ketundukan.
Menurutnya, agama yang fanatik pada satu doktrin justru melemahkan manusia, sementara yang membuka diri terhadap dialog akan lebih berkembang.
Hidup, Seni, dan Kebebasan
Bagi Nietzsche, kehidupan adalah karya seni. Ia memandang bahwa tubuh, seksualitas, bahkan penderitaan adalah bagian dari ekspresi kreatif manusia. “Hidup yang indah adalah hidup yang dicipta, bukan sekadar ditaati,” demikian salah satu kutipan yang menggetarkan ruang diskusi.
Ia juga menegaskan bahwa penderitaan bukan untuk dihindari, melainkan ditransformasikan menjadi kekuatan. “Manusia sejati,” kata Idham menirukan Nietzsche, “adalah ia yang menari di atas lukanya sendiri.”
Kritik Sosial dan Pencarian dalam Kegelapan
Nietzsche melihat bahwa kegilaan sering kali justru lahir dari kekuasaan dan massa, bukan dari individu bebas. Ia menulis, “Semakin orang berilmu, dalam gelap pun ia akan mencari.” Sebuah refleksi bahwa manusia sejati tidak berhenti mencari makna, bahkan di tengah ketidakpastian.
Di sisi lain, ia juga mengkritik moralitas pengabdian tanpa kesadaran — bahwa pengabdian sejati harus lahir dari kekuatan, bukan dari ketakutan.
Penutup yang Menggema
Acara ditutup dengan pembacaan puisi bertema Nietzsche oleh Irfan Maulana, seorang alumni SMA Negeri 1 Meureudu yang kini dikenal luas sebagai penyair muda berbakat Aceh. Namanya tidak hanya diakui di tingkat lokal, tetapi juga menembus kancah nasional melalui keberhasilannya di Pekan Kebudayaan Nasional yang baru-baru ini digelar di Jakarta.
Puisi yang dibawakannya menggema di seluruh aula — seakan memantulkan kembali semangat pemberontakan dan kejujuran berpikir sang filsuf Jerman.
Sebelum berakhir, moderator menutup dengan sebuah refleksi tajam:
“Mengapa manusia lebih memilih etis dan meninggalkan estetis?”
Pertanyaan ini menggema dalam benak peserta — sebuah pengingat bahwa hidup tidak hanya tentang benar dan salah, tetapi juga tentang keindahan, penciptaan, dan keberanian untuk merayakan kehidupan.