Header Ads Widget



MAULID NABI ﷺ DAN KEKONYOLAN MUFTI WAHABI

Wahabi: “Berapa kali Rasulullah ﷺ dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum merayakan maulid?”


Sunni: “Kalau merayakan maulid dengan berpuasa, maka telah menjadi sunnah beliau ﷺ, dan tidak bisa dihitung berapa kali. Tapi kalau maksudnya merayakan maulid dengan acara yang kami lakukan memang tidak pernah.”


Wahabi: “Kalau tidak pernah merayakan maulid seperti yang kalian rayakan mengapa kalian tidak cukup berpuasa saja, tanpa perayaan yang beliau tidak pernah mencontohkan?”


Sunni: “Pertanyaan Anda justru sejak awal salah dan tidak ilmiah. Sehingga akhirnya Anda mengeluarkan keputusan hukum yang salah pula. Pertanyaan awam Anda yang selalu diulang-ulang kepada kaum awam adalah:

  • Berapa kali Nabi ﷺ merayakan maulid? 
  • Berapa kali Khalifah Abu Bakar merayakan maulid?
  • Berapa kali Khalifah Umar merayakan maulid? Dan seterusnya.

Inilah rangkaian dari banyak pertanyaan Anda yang bodoh dan disebarkan kepada kaum Muslimin untuk membodohi mereka dengan kedok kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah.”


Wahabi: “Kok bisa, pertanyaan-pertanyaan kami dianggap salah dan suatu kebodohan?”


Sunni: “Dalam teori ilmu ushul fiqih, seorang penuntut/penggugat (mu’taridh) tidak boleh menanyakan dalil khusus kepada mustadil (ulama yang berdalil), misalnya harus dalil dari al-Qur’an dan hadits secara nash (tekstual). Tuntutan semacam ini adalah kebodohan. Karena di dalam agama, dalil itu ada banyak macamnya. Dalil-dalil yang disepakati oleh seluruh ulama ada empat; al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Sementara dalil-dalil yang masih diperselisihkan masih banyak lagi, seperti mashalih mursalah, saddu al-dzari’ah, istihsan, ‘amal ahl al-madinah, fatwa shahabi, dan lain-lain. Nah, karena dalil dalam pengambilan hukum tidak hanya terbatas pada al-Qur’an dan Sunnah, tetapi juga mencakup terhadap Ijma’ dan Qiyas, maka ketika seorang ulama menjawab suatu persoalan hukum dengan dalil Ijma’ dan Qiyas, jawabannya dapat diterima dan harus dihargai.”


Wahabi: “Mana dalilnya, bahwa fatwa ulama yang tidak berdasarkan nash al-Qur’an dan Sunnah harus diterima?”


Sunni: “Fatwa ulama yang tidak berdasarkan nash al-Qur’an dan Sunnah harus diterima apabila memiliki dalil yang lain, seperti Ijma’ dan Qiyas, atau selain Ijma’ dan Qiyas menurut ulama yang mengakuinya. Ini yang disebut dengan proses ijtihad atau istinbath. Hal tersebut sesuai dengan hadits-hadits berikut ini:


عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رضي الله عنه أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ. رواه البخاري و مسلم. 


“Apabila seorang hakim melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala. Dan apabila melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya keliru, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR. Al-Bukhari [6805], Muslim [1716]).

Dalam hadits di atas, jelas sekali keutamaan ulama yang mengeluarkan hukum berdasarkan ijtihad, ketika tidak ada nash dalam al-Qur’an dan hadits, apabila hasil ijtihadnya benar, maka mendapatkan dua pahala, dan jika salah maka mendapatkan satu pahala.

Dalam hadits yang sangat populer juga disebutkan:

عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصَ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ « كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ ». قَالَ أَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ « فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللهِ ». قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ ﷺ. قَالَ « فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلاَ فِى كِتَابِ اللهِ ». قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِى وَلاَ آلُو. فَضَرَبَ رَسُولُ اللهِ ﷺ صَدْرَهُ وَقَالَ « الْحَمْدُ للهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللهِ لِمَا يُرْضِى رَسُولَ اللهِ ». رواه أبو داود والترمذي وأحمد

Dari beberapa orang penduduk Himash dari kalangan sahabat Mu’adz bin Jabal, bahwa ketika Rasulullah ﷺ hendak mengutus Mu’adz ke Yaman (sebagai Qadhi), beliau bersabda: ”Bagaimana cara kamu memutuskan hukum, apabila menghadapi suatu persoalan?” Mu’adz menjawab: ”Aku akan memutuskan berdasarkan Kitabullah.” Beliau bertanya: ”Apabila kamu tidak menemukan keputusan dalam Kitabullah? ” Mu’adz menjawab: ”Berdasarkan Sunnah Rasulullah ﷺ.” Beliau bertanya: ”Apabila kamu tidak menemukan dalam Sunnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dan tidak menemukan pula dalam Kitabullah?” Mu’adz menjawab: ”Aku berijtihad dengan pendapatku secara sungguh-sungguh”. Lalu Rasulullah ﷺ memukul dada Mu’adz seraya bersabda: ”Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan kepada utusan Rasulullah pada apa yang diridhai oleh Allah.” (HR. Abu Dawud [3592], at-Tirmidzi [1327], dan Ahmad [5/230]).

Perhatikan dalam hadits di atas, bagaimana Rasulullah ﷺ mendidik umatnya, ketika menghadapi persoalan yang tidak terdapat nash dalam al-Qur’an dan hadits, agar melakukan ijtihad, dan hal itu termasuk diridhai oleh Allah. Dalam hadits di atas, ketika Mu’adz bin Jabal ditanya tentang persoalan yang tidak ada nash dalam al-Qur’an dan hadits, beliau tidak menjawab, aku akan menghukumi bid’ah kepada persoalan tersebut, karena setiap bid’ah itu sesat dan masuk neraka. Tetapi Mu’adz akan berijtihad dengan sungguh-sungguh. Semua hukum tidak bisa didalili dengan hadits kullu bid’atin dholalah.


Dalam hadits lain, juga diriwayatkan:


عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ رَجُلٌ مِنْ الأَنْصَارِ يَؤُمُّهُمْ فِي مَسْجِدِ قُبَاءٍ وَكَانَ كُلَّمَا افْتَتَحَ سُورَةً يَقْرَأُ بِهَا لَهُمْ فِي الصَّلاةِ مِمَّا يُقْرَأُ بِهِ افْتَتَحَ بِقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهَا ثُمَّ يَقْرَأُ سُورَةً أُخْرَى مَعَهَا وَكَانَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَكَلَّمَهُ أَصْحَابُهُ فَقَالُوا إِنَّكَ تَفْتَتِحُ بِهَذِهِ السُّورَةِ ثُمَّ لا تَرَى أَنَّهَا تُجْزِئُكَ حَتَّى تَقْرَأَ بِأُخْرَى فَإِمَّا تَقْرَأُ بِهَا وَإِمَّا أَنْ تَدَعَهَا وَتَقْرَأَ بِأُخْرَى فَقَالَ مَا أَنَا بِتَارِكِهَا إِنْ أَحْبَبْتُمْ أَنْ أَؤُمَّكُمْ بِذَلِكَ فَعَلْتُ وَإِنْ كَرِهْتُمْ تَرَكْتُكُمْ وَكَانُوا يَرَوْنَ أَنَّهُ مِنْ أَفْضَلِهِمْ وَكَرِهُوا أَنْ يَؤُمَّهُمْ غَيْرُهُ فَلَمَّا أَتَاهُمْ النَّبِيُّ ﷺ أَخْبَرُوهُ الْخَبَرَ فَقَالَ يَا فُلانُ مَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَفْعَلَ مَا يَأْمُرُكَ بِهِ أَصْحَابُكَ وَمَا يَحْمِلُكَ عَلَى لُزُومِ هَذِهِ السُّورَةِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَقَالَ إِنِّي أُحِبُّهَا فَقَالَ حُبُّكَ إِيَّاهَا أَدْخَلَكَ الْجَنَّةَ. (رواه البخاري و احمد).


“Dari Anas radhiyallahu ‘anhu: “Seorang laki-laki dari kaum Anshar selalu menjadi imam mereka di Masjid Quba’. Kebiasaannya, setiap ia akan memulai membaca surat dalam shalat selaku imam mereka, ia akan mendahului dengan membaca surah Qul Huwallaahu ahad sampai selesai, kemudian membaca surah yang lain bersamanya. Dan ia melakukan hal itu dalam setiap raka’at. Lalu para jamaahnya menegurnya dan berkata: “Anda selalu memulai dengan surah (al-Ikhlash) ini, kemudian Anda merasa tidak cukup sehingga membaca surah yang lain pula. Sebaiknya Anda membaca surah ini saja, atau Anda tinggalkan dan membaca surah yang lain saja.” Laki-laki itu menjawab: “Aku tidak akan meninggalkan surah al-Ikhlash ini dalam setiap raka’at jika kalian senang aku menjadi imam kalian, aku tetap begitu. Jika kalian keberatan, akan berhenti menjadi imam kalian.” Sementara para jamaah memandang laki-laki itu orang yang paling utama di antara mereka. Mereka juga tidak mau jika selain laki-laki itu yang menjadi imam shalat mereka. Maka ketika Nabi ﷺ datang kepada mereka, mereka pun menceritakan perihal imam tersebut. Lalu beliau bertanya kepada laki-laki itu: “Wahai fulan, apa yang menghalangimu untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh sahabat-sahabatmu dan apabila yang mendorongmu membaca surat al-Ikhlash ini secara terus menerus dalam setiap raka’at?” Ia menjawab: “Aku sangat mencintainya.” Beliau bersabda: “Cintamu pada surah ini akan mengantarmu masuk surga.” (HR. Al-Bukhari [774], Ahmad dalam Musnad-nya [3/135]).


Perhatikan hadits di atas, seorang laki-laki yang menjadi imam kaum Anshar di Masjid Quba’, memiliki kebiasaan yang berbeda dengan Rasulullah ﷺ, yaitu membaca surah al-Ikhlash dalam setiap raka’at shalatnya ketika menjadi imam, sebelum membaca surah yang lain. Ketika hal tersebut dilaporkan kaumnya kepada Rasulullah ﷺ, beliau justru bertanya, apa dasarnya membuat kebiasaan yang berbeda dengan orang kebanyakan itu. Lalu laki-laki tersebut menjawab, dasarnya karena sangat mencintai surah al-Ikhlash. Atas dasar inilah, laki-laki tersebut berijtihad untuk membaca surah al-Ikhlash dalam setiap raka’at. Dan ketika Rasulullah ﷺ mendengar alasannya, beliau justru memberinya kabar gembira, bahwa ia akan masuk surga karenanya. Coba Anda perhatikan, ketika laki-laki tersebut mempunyai kebiasaan dalam shalat yang berbeda dengan sunnah, Rasulullah ﷺ, tidak langsung menegurnya dengan berkata: “kullu bid’atin dholalah, wa kullu dholalatin finnar.” Karena hadits ini tidak bisa dipakai untuk semua persoalan yang tidak ada nash nya dalam al-Qur’an dan hadits. Dalam persoalan-persoalan yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan hadits, masih banyak ruang untuk berijtihad, dan tidak berdasarkan hadits kullu bid’atin dholalah.


Dalam hadits lain juga diriwayatkan:


عن ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَصَلَّيْتُ خَلْفَهُ فَأَخَذَ بِيَدِي فَجَرَّنِي فَجَعَلَنِي حِذَاءَهُ فَلَمَّا أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ ﷺ عَلَى صَلاتِهِ خَنَسْتُ فَصَلَّى رَسُولُ اللهِ ﷺ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ لِي مَا شَأْنِي أَجْعَلُكَ حِذَائِي فَتَخْنِسُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ أَوَيَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ يُصَلِّيَ حِذَاءَكَ وَأَنْتَ رَسُولُ اللهِ الَّذِي أَعْطَاكَ اللهُ قَالَ فَأَعْجَبْتُهُ فَدَعَا اللهَ لِي أَنْ يَزِيدَنِي عِلْمًا وَفَهْمًا. رواه أحمد وابو يعلى وصححه الحاكم.


Ibnu Abbas berkata: “Aku mendatangi Rasulullah ﷺ pada akhir malam, lalu aku shalat (bermakmum) di belakang beliau. Lalu beliau mengambil tanganku, menarikku, hingga menjadikanku lurus dengan beliau. Setelah Rasulullah ﷺ konsentrasi pada shalatnya, aku mundur. Lalu Rasulullah ﷺ shalat. Ketika beliau selesai, beliau bertanya: “Kenapa diriku? Aku luruskan kamu denganku, kok malah mundur.” Aku menjawab: “Wahai Rasulullah, apakah pantas bagi seseorang menunaikan shalat, berdiri lurus dengan engkau, sedangkan engkau adalah Rasulullah yang telah diberi anugerah oleh Allah.” Lalu beliau kagum dengan jawabanku. Lalu beliau berdoa kepada Allah agar menambah ilmu dan kecerdasanku.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya [2393], Abu Ya‘la dalam Musnad-nya [2460], al-Hakim dalam al-Mustadrak [3/615] menilainya Shahih).


Perhatikan dalam hadits di atas, Rasulullah ﷺ meluruskan shaf Ibnu Abbas dengan beliau, karena menjadi makmum sendirian, tanpa bersama jamaah lain. Tapi kemudian Ibnu Abbas mundur lagi. Setelah selesai shalat, Rasulullah ﷺ, justru bertanya, apa dasar Ibnu Abbas tidak mau lurus dengan beliau dan justru mundur? Setelah Ibnu Abbas menjawab, bahwa dasar beliau mundur, adalah karena merasa tidak pantas jika harus lurus dengan Rasulullah ﷺ yang derajatnya sangat agung, beliau justru mengagumi dasar tersebut dan mendoakannya agar bertambah alim dan cerdas. Dalam kejadian tersebut, Rasulullah ﷺ tidak langsung marah kepada Ibnu Abbas dan tidak pula berkata kullu bid’atin dholalah wa kullu dholalatin finnar. Tetapi masih menanyakan dasarnya apa? Hadits kullu bid’atin dholalah, tidak bisa dijadikan dalil setiap persoalan hukum yang tidak ada nash nya dalam al-Qur’an dan hadits. Setiap persoalan ada dalilnya sendiri-sendiri.


Inilah sebagian dalil yang membuktikan kesalahan pertanyaan-pertanyaan kaum Wahabi di atas. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu, tidak ilmiah. Hukum perayaan maulid telah difatwakan oleh para ulama besar, ratusan tahun sebelum lahirnya aliran Wahabi. Ketika perayaan maulid ditanyakan hukumnya kepada para ulama ahli hadits, mereka justru berpendapat positif dan menganjurkan untuk melakukannya. Mereka antara lain al-Hafizh Ibnu Dihyah al-Kalbi, al-Hafizh Ibnu al-Jauzi, al-Hafizh Ibnu Katsir, al-Hafizh al-’Iraqi, al-Hafizh Ibnu Nashiruddin al-Dimasyqi, al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Hafizh al-Sakhawi, al-Hafizh al-Suyuthi dan lain-lain. Mereka semuanya ahli hadits, dan hafal di luar kepala hadits kullu bid’atin dholalah.


Wahabi: ”Terus kalau memang acara maulid ada dalilnya, apa saja dalilnya?”


Sunni: ”Dalilnya banyak sekali. Antara lain:


Dalil Pertama


Allah َسُبْحَانَهُ وَتَعَال Berfirman dalam Al-Qur'an :


وَمَاۤ اَرۡسَلۡنٰكَ اِلَّا رَحۡمَةً لِّـلۡعٰلَمِيۡنَ ١٠٧(سورة الانباء)


Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Q.S. al-Anbiya' : 107)


Dan Rasulullah ﷺ telah bersabda :


اِنَّمَا اَنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ


"Aku hanyalah rahmat yang dihadiahkan". (Hadits sahih riwayat al-Darimni [15], Ibnu al-A'rabi dalam al-Mujam [2452], dishahihkan oleh al-Hakim [1001], dan disetujui oleh al-Hafizh al-Dzahabi.) 


Berdasarkan hadits tersebut, berarti Rasulullah ﷺ adalah al-rahmat al-'uzhma (rahmat yang paling agung) yang dilimpahkan oleh Allah bagi umat manusia. Sedangkan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَال telah memerintahkan kita untuk merayakan lahirnya rahmat itu.


Dalam hal ini Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَال berfirman :


قُلْ بِفَضْلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوْاۗ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ ٥٨ (سورة يونس)


Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Sebab kegembiraan itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan". (Q.S. Yunus : 58). 


Dalam menafsiri ayat diatas, Imam As-Suyuthi mengatakan :


و أخرج أبو الشيخ عن ابن عباس فى الآية ، قال ؛ فضل الله العلمُ ، و رحمته محمد صلى الله عليه و سلم . قال الله ؛ و ما أرسلناك إلا رحمة للعالمین (الأنبياء ؛ ١٠٧)


Telah diriwayatkan oleh Abu Asy-Syaikh dari Ibnu Abbas رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا , beliau berkata : "Maksud KARUNIA ALLAH adalah ILMU, dan RAHMAT ALLAH ialah NABI MUHAMMAD".


Tafsiran ini senada dengan firman Allah pada Surah Al-Anbiya' ayat 107 yang berbunyi : "Dan tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad), kecuali untuk menjadi RAHMAT bagi alam semesta". [AD-DURRUL MANTSUR, Imam As-Suyuthi, Cet.Darul Fikri Juz 4 Hal.367-368]


Maka bila ayat diatas kita tafsirkan secara utuh atas riwayat Abu Asy-Syaikh dari Ibnu Abbas ini, maka maknanya sebagai berikut :


قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَ بِرَحْمَتِهِ فَبِذَالِكَ فَلَيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ 


"Katakanlah, dengan sebab ILMU dan NABI MUHAMMAD, hendaklah mereka bergembira dengan dua hal tersebut. Sebab kegembiraan itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan di dunia". Wallaahu a'lam.


Berarti merayakan acara maulid, termasuk mengamallkan perintah dalam ayat tersebut.


Dalil Kedua


Allah َسُبْحَانَهُ وَتَعَال juga Berfirman :


وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ اَنْۢبَاۤءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهٖ فُؤَادَكَ ۚ ١٢٠(سورة هود)


Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu. (Q.S. Hud: 120).


Ayat ini menegaskan bahwa penyajian kisah-kisah para rasul dalam al-Qur'an adalah untuk meneguhkan hati Nabi ﷺ Dan tentu saja kita yang dha'if dewasa ini lebih membutuhkan peneguhan hati dari pada beliau ﷺ melalui penyajian sirah dan biografi beliau ﷺ.


Dalil Ketiga


Allah َسُبْحَانَهُ وَتَعَال juga Berfirman :


قَالَ عِيۡسَى ابۡنُ مَرۡيَمَ اللّٰهُمَّ رَبَّنَاۤ اَنۡزِلۡ عَلَيۡنَا مَآٮِٕدَةً مِّنَ السَّمَآءِ تَكُوۡنُ لَـنَا عِيۡدًا لِّاَوَّلِنَا وَاٰخِرِنَا وَاٰيَةً مِّنۡكَ‌ۚ وَارۡزُقۡنَا وَاَنۡتَ خَيۡرُ الرّٰزِقِيۡنَ ١١٤(سورة الماءدة)

"Isa putera Maryam berdoa: "Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezkilah kami, dan Engkaulah pemberi rezki yang paling Utama". (Q.S. al-Maidah: 114).


Dalam ayat ini, ditegaskan bahwa turunnya hidangan dianggap sebagai hari raya bagi orang-orang yang bersama Nabi Isa عَلَيْهِ السَّلاَم dan orang-orang yang datang sesudah beliau di bumi agar mengekspresikan kegembiraan dengannya. Tentu saja lahirnya Rasulullah ﷺ sebagai al-rahmat al-'uzhma lebih layak kita rayakan dengan penuh suka cita dari pada hidangan itu.


Dalil Keempat


Allah َسُبْحَانَهُ وَتَعَال juga Berfirman :


وَذَكِّرْهُم بِأَيَّىٰمِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ ٥ (سورة الماءدة)


Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah. Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur. (Q.S Ibrahim : 5).


Dalam ayat di atas, ada perintah mengingatkan manusia tentang hari-hari Allah, maksudnya adalah hari-hari dimana Allah melimpahkan kenikmatan kepada mereka,


عن أبيّ بن كعب، عن النبي ﷺ في قوله: وذكِّرهم بأيام الله قال: بنِعَمِ الله وآلائه.

 رواه النسائي في التفسير، وعبد الله بن أحمد في زوائد المسند، والبيهقي في شعب الإيمان.


Dari Ubay bin Ka‘ab, dari Nabi ﷺ tentang firman Allah: “Dan ingatkanlah mereka pada hari-hari Allah”, beliau bersabda: “(Yang dimaksud adalah) nikmat-nikmat Allah dan karunia-Nya.” (HR. an-Nasa’i dalam at-Tafsir, Abdullah bin Ahmad dalam Zawa’id al-Musnad, al-Baihaqi dalam Syu‘ab al-Iman [2/199]) 


Hari-hari besar Islam, seperti maulid, isra' dan miraj, tahun baru lslam, nuzul al-Qur'an dan lain-lain merupakan realisasi dari ayat tersebut, yaitu peringatan tentang kenikmatan yang dilimpahkan oleh Allah pada hari-hari tersebut.


Dalil Kelima


Di sisi lain, acara maulid Nabi ﷺ pada dasarnya adalah perkumpulan untuk berdzikir kepada Allah dan mensyukuri nikmat agung berupa Rasulullah ﷺ yang dianugerahkan kepada kita. Demikian ini sesuai dengan hadits berikut,


عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ مُعَاوِيَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : إِنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ ﷺ خَرَجَ عَلَى حَلْقَةٍ يَعْنِيْ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ: «مَا أَجْلَسَكُمْ؟» قَالُوْا: جَلَسْنَا نَدْعُو اللَّهَ وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِدِيْنِهِ، وَمَنَّ عَلَيْنَا بِكَ، قَالَ: «اللَّهَ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلَا ذَلِكَ؟» قَالُوْا: اللَّهَ مَا أَجْلَسْنَا إِلَا ذَلِكَ، قَالَ : «أَمَا إِنِّيْ لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهَمَةً لَكُمْ، وَإِنَّمَا أَتَانِي جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلاَم فَأَخْبَرَنِيْ أَنَّ اللَّهَ عَزَّوَجَلَّ يُبَاهِي بِكُمُ الْمَلَائِكَةَ».


Dari Abu Said al-Khudri رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ , "Mu'awiyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ berkata, "Sesungguhnya Rasulullah ﷺ keluar pada suatu perkumpulan sebagian sahabatnya dan bersabda, "Apa yang mendorong kalian berkumpul?" Mereka berkata, "Kami duduk untuk berdoa kepada Allah, memuji-Nya karena telah melimpahkan hidayah kepada kami pada agama-Nya dan menganugerahkan engkau kepada kami." Nabi ﷺ bersabda, "Demi Allah, hanya itu yang mendorong kalian duduk bersama?" Mereka berkata, "Demi Allah, hanya itulah yang mendorong kami duduk bersama." Nabi ﷺ bersabda, "Sesungguhnya aku menyumpah kalian bukan karena curiga pada kalian. Akan tetapi Jibril عَلَيْهِ السَّلاَم datang kepadaku dan mengabarkan bahwa Allah عَزَّوَجَلَّ membanggakan kalian kepada para malaikat". (Hadits shahih riwayat Ahmad [16881], Muslim [2701], al-Tirmidzi [3379], al-Nasa'i [5426], Abu Yala [7378], Ibnu Abi Syaibah [29469], Ibnu Hibban [813] dan al-Thabarani dalam al-Mu'jam al-Kabir [701]). 


Hadits di atas memberikan beberapa pesan penting,


Pertama, para sahabat tersebut berkumpul karena inisiatif mereka, tanpa ada perintah atau anjuran sebelumnya dari Nabi ﷺ Karena itu Nabi ﷺ menanyakan perkumpulan tersebut.


Kedua, ketika ditanya oleh Nabi ﷺ tentang tujuan mereka berkumpul, ternyata untuk berdoa kepada Allah, memuji kepada-Nya karena nikmat agama Islam yang Allah limpahkan kepada mereka.


Ketiga, mereka berkumpul juga karena memuji kepada Allah karena telah menganugerahkan Rasulullah ﷺ kepada mereka. Perayaan maulid Nabi ﷺ , juga bertujuan mensyukuri nikmat Allah yang sangat agung, yaitu datangnya Rasulullah ﷺ kepada kita.


Keempat, berarti acara maulid masuk dalam hadits di atas, yaitu perkumpulan yang dibanggakan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَال kepada para malaikat, karena isinya merayakan dan mensyukuri hadirnya Rasulullah ﷺ ke muka bumi, sebagai nikmat dan rahmat Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَال yang paling agung.


Dalil Keenam


Hadits Abu Qatadah Al-Anshari رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ


عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُوْلَ اللَّہِ ﷺ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الْاِثْنَيْنِ؟ قَالَ: ذَاكَ يَوْمَ وُلِدْتُ فِيْهِ، وَيَوْمَ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيْهِ.


"Dari Abu Qatadah al-Anshari رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ Rasulullah ﷺ ditanya tentang berpuasa pada hari Senin (yang selalu beliau lakukan. Beliau bersabda, "Itu hari aku dilahirkan dan hari aku diutus atau wahyu diturunkan kepadaku." (Hadits shahih riwayat Muslim [11621], Ahmad [22590], Abu Dawud [2426], Ibnu Hibban [3642], al-Hakim [4179] dan al-Baihagi dalam Syu'ab al-Iman [1386]). 


Dalam hadits di atas, Rasulullah ﷺ selalu berpuasa pada hari Senin, karena merayakan dan mensyukuri nikmat Allah pada hari tersebut sebagai hari kelahiran dan hari diangkatnya beliau sebagai Nabi ﷺ Hadits ini menjadi dalil anjuran merayakan hari kelahiran Nabi ﷺ dengan berpuasa. Sedangkan ibadah-ibadah lain seperti shalat, sedekah, dan dzikir bersama seperti yang ada dalam acara maulid, dianalogikan dengan puasa, karena mendekatkan seseorang kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَال.


Dalil Ketujuh


Hadits Ibnu Abbas رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا


عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ ،أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ، لَمَّا قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ وَجَدَهُمْ يَصُوْمُوْنَ يَوْمًا، يَعْنِيْ عَاشُوْرَاءَ، فَقَالُوْا: هَذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ، وَهُوَ يَوْمٌ نَّجَى اللَّهُ فِيْهِ مُوْسَى، وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ، فَصَامَ مُوْسَى شُكْرًا للَّهِ، فَقَالَ «أَنَا أَوْلَى بِمُوْسَى مِنْهُمْ» فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.


Dari lbnu Abbas رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا, "Ketika Nabi ﷺ melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Nabi ﷺ bertanya, "Ada apa ini mereka berpuasa,"Mereka menjawab, "ini hari yang agung. Hari dimana Allah selamatkan Nabi Musa dan Allah tenggelamkan Fir'aun. Maka Musa berpuasa karena bersyukur kepada Allah." Nabi ﷺ bersabda, "Aku lebih berhak mensyukuri Musa daripada mereka." Maka Nabi ﷺ berpuasa dan memerintahkan para sahabat berpuasa. (Hadits shahih riwayat al-Bukhari [33971, Muslim [1130], Abu Dawud [24441], Ibnu Majah [1734], Ibnu Khuzaimah [2084] dan lbnu Hibban [3625]).


Hadits di atas menjelaskan, bahwa selamatnya Nabi Musa عَلَيْهِ السَّلاَم merupakan kenikmatan yang dianjurkan untuk dirayakan dan disyukuri. Berarti lahirnya Rasulullah ﷺ lebih layak untuk dirayakan dan disyukuri, karena derajat Rasulullah ﷺ yang melebihi para nabi dan seluruh makhluk lainnya. Oleh karena itu, menurut al-Hafizh Ibnu Hajar, hadits di atas mengandung pesan penting berkaitan dengan perayaan maulid Nabi ﷺ , yaitu anjuran bersyukur kepada Allah pada hari dimana kenikmatan itu dilimpahkan, dan diulang-ulang setiap hari itu datang, Bersyukur tersebut bisa jadi dengan berpuasa, membaca al-Qur'an, bersedekah dan aneka ragam ibadah lainnya. Hal ini seperti yang dilakukan dalam acara maulid Nabi ﷺ. (Al-Hafizh al-Suyuthi, al-Hawi lil-Fatawi juz l hlm 196).


Wahabi: ”Mengapa para ulama kami kaum wahabi tidak tahu dengan dalil-dalil di atas?”


Sunni: ”Mereka membaca al-Qur’an, tetapi al-Qur’an tidak sampai melewati kerongkongan mereka, al-Qur’an sebatas sampai di mulut, tidak meresap di hati mereka. Hati mereka buta. Sebagaimana diterangkan dalam hadits-hadits shahih, tentang ciri-ciri kaum Khawarij.


Riwayat dari Abu Sa‘id al-Khudri. Rasulullah ﷺ bersabda:


يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الإِسْلاَمِ مَرَقَ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ


“Mereka membaca al-Qur’an, tetapi tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya.” (HR. al-Bukhari [6930], Muslim [1064]).


Dalam Riwayat lain, Riwayat dari Ali bin Abi Thalib. Nabi ﷺ juga bersabda:


يَقْتُلُونَ أَهْلَ الإِسْلاَمِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الأَوْثَانِ، لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ


“Mereka membunuh kaum Muslimin, tetapi membiarkan penyembah berhala. Jika aku menjumpai mereka, pasti akan aku perangi sebagaimana kaum ‘Ad dibinasakan.” (HR. al-Bukhari [3344], Muslim [1064]).


Dalam riwayat lain, Riwayat dari Abu Hurairah. Rasulullah ﷺ bersabda:


خَيْرُ قُرُونِ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ، يَقْتُلُونَ أَهْلَ الإِسْلاَمِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الأَوْثَانِ


_“Sebaik-baik umatku adalah generasiku, kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya. Lalu akan datang suatu kaum yang membaca al-Qur’an, tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka membunuh kaum Muslimin dan membiarkan penyembah berhala.” (HR. Muslim [1065]).


Imam an-Nawawi Rahimahullah menjelaskan :


قَوْلُهُ ﷺ : ( يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ ) مَعْنَاهُ : لا يَصِلُ إِلَى حُلُوقِهِمْ لِيَنْفُذَ إِلَى قُلُوبِهِمْ وَلا يَنْتَفِعُونَ بِهِ ، وَإِنَّمَا حَظُّهُمْ مِنْهُ إِجْرَاؤُهُ عَلَى أَلْسِنَتِهِمْ ، لا إِلَى صُدُورِهِمْ


“Mereka membaca al-Qur’an, tetapi tidak melewati tenggorokan mereka. Maksudnya, bacaan itu tidak sampai ke hati mereka untuk meresap dan memberi manfaat. Bagian mereka dari al-Qur’an hanyalah sebatas bacaan lisan, bukan pemahaman dan penghayatan dalam dada.” (Syarh Shahih Muslim [7/167])


Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani menjelaskan :


قَوْلُهُ : ( لا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ ) أَيْ لا يَصِلُ إِلَى قُلُوبِهِمْ لِيُثْمِرَ عِلْمًا نَافِعًا وَعَمَلاً صَالِحًا، وَإِنَّمَا يَقْتَصِرُ عَلَى التِّلَاوَةِ بِاللِّسَانِ


“Sabda beliau ﷺ: ‘Tidak melewati tenggorokan mereka’, maksudnya bacaan itu tidak sampai ke hati mereka untuk menghasilkan ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih. Yang ada hanya sebatas bacaan lisan semata.” (Fath al-Bari [12/301]


Imam Al-Qurthubi juga memberi penjelasan serupa:


إِنَّمَا وَصَفَهُمْ بِذَلِكَ لِأَنَّهُمْ لَمْ يَتَفَقَّهُوا فِي الْقُرْآنِ وَلَمْ يَتَدَبَّرُوا مَعَانِيَهُ فَكَانَ حَظُّهُمْ مِنْهُ مَا يَبْلُغُ التَّرَاقِي


“Nabi ﷺ menggambarkan mereka demikian karena mereka tidak mendalami (fiqh) al-Qur’an dan tidak mentadabburi maknanya. Maka bagian mereka dari al-Qur’an hanyalah sebatas apa yang sampai di tenggorokan.” (Al-Mufhi [4/583]). 


Anda tahu bahwa mufti wahabi meskipun membid’ahkan dan mensyirikkan perayaan maulid dan mengenang biografi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka justru mewajibkan mengenang perjalanan hidup dan perjuangan pendiri Wahabi, Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi.”


Wahabi: ”Ah masak begitu.”


Sunni: ”Silahkan Anda buka, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, buku himpunan fatwa mufti wahabi, Syaikh Ibnu Baz, pada juz 1 halaman 178, beliau mengharamkan dan membid’ah sesatkan perayaan maulid. Tapi pada juz 1 halaman 382, dia berkomentar tentang acara tahunan wahabi yang berjudul Usbu’ al-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab (sepekan kewajiban mengenang dan menghayati sejarah perjalanan hidup dan jihad Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab), dia mewajibkan. Dia berkata:


كلمة في أسبوع الشيخ محمد بن عبد الوهاب رحمه الله

أيها الإخوة الكرام, إن الاجتماع لدراسة مذهب السلف الصالح ومنه دعوة الشيخ محمد بن عبد الوهاب , وتعريف الناس بها, … أمر واجب ومن أعظم القرب إلى الله; لأنه تعاون على الخير, وتشاور في المعروف, وبحث للوصول إلى الأفضل, (الشيخ ابن باز، مجموع فتاوى ومقالات متنوعة، ج 1 ص 382).


Prakata Tentang Sepekan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Saudara-saudara yang mulia. Sesungguhnya berkumpul untuk mempelajari madzhab salaf yang saleh, antara lain mempelajari dakwahnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan mengenalkannya kepada masyarakat … adalah perkara yang wajib dan termasuk ibadah sunnah yang paling agung kepada Allah, karena sesungguhnya hal itu tolong menolong atas kebaikan, tukar pikiran dalam kebaikan dan kajian untuk mencapai pada yang lebih utama.” (Ibn Baz, Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 1 hlm 382).


Coba perhatikan fatwa di atas, berkumpul untuk mempelajari perjalanan hidup dan dakwah pendiri wahabi termasuk wajib dan ibadah yang paling agung. Mengapa memperingati kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam malah bid’ah dan haram. Alangkah konyolnya mufti wahabi tersebut dalam berfatwa.”


Disarikan oleh :

Tgk. Firdaus Muhammad, S.T. (Sekretaris Umum DDII Banda Aceh)